Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2015

“Cinta, Wanita, Janda, sampai Waria”

“Cinta, Wanita, Janda, sampai Waria” aku jatuh cinta tidak kepada semua wanita hanya dia wanita bukan janda apalagi waria jangan sebut dia bunga karena bukan korban yang teraniaya dan aku bukan penjahatnya hanya cinta membuat aku bahagia orang lain bilang aku gila cinta itu... Seperti ganja aku jadi senyum-senyum mirip kuda pantas saja aku di bilang gila tapi tak apa namanya juga cinta walaupun hati tak terbaca mungkin dia buta bukan buta warna karena hati punya indra mata hati namanya bukan matahari ya cinta membuatku lupa derita memang sih panasnya kayak neraka ahhh cinta senyum aja sambil ketawa-tawa aku tidak gila ini pengaruh ganja eehhh?, janda maksudnya lahhh?, wanita!!!

Alesana

“Alesana” aku jatuh cinta kepada Alesana bukan wanita tapi sebuah karya lagu tanpa makna atau seperti jeritan neraka itu sih kata mereka padahal tidak juga namanya juga manusia semua berbeda jika sama? Jelas bukan manusia

Mencaci Waktu

“Mencaci waktu” kemarin, sekarang, dan esok tidak selamanya ceritaku tertulis dengan elok bisa saja aku bahagia atau teraniaya bahagia sekejap mata derita selamanya telah banyak teori dari ilmuwan terkemuka namun sia-sia mereka dibunuhnya.... Juga kau menjadi saksi kau yang mengeksekusi aku memang bukan manusia suci tapi... Tolong berhenti berhenti menindasku berhenti mengabaikanku karena aku... bukanlah musuhmu aku bagaikan duri dari bunga dengan tubuh yang penuh luka perlahan membatu terbujur layu, lalu... Menjadi abu

Pagi

“Pagi” tik tok tik tok... matahari mulai bersinar malam pun perlahan rontok ketika sang fajar tersenyum lebar inginku iris kupingmu agar kamu tahu aku memanggil di balik mimpi membisikkan di antara sepasang matamu yang sayu di balik mentariku titip puisi puisi tentang ungkapan hati hanya ungkapan yang tidak terbaca mungkin cinta yang telah mati karena sepinya jiwa

“Mati”

“Mati” bersembunyi di balik bayang-bayang malam apakah aku dapat melihat fajar menyapa atau hanya menyaksikan raga memudar yang perlahan menikam kenapa aku ada?, apa yang harus aku percaya? Tidak ada lagi cinta hanya tetesan airmata airmata untukku karena raga tidak lagi menjadi milikku waktunya telah datang kemarin memanggilku tanpa izin jiwa memudar, ringan terasa mungkin sudah saatnya aku khawatir surga atau neraka

Boneka

“Boneka” Boneka... Ku titip padamu Sesuatu yang tak akan ku lupa Karena hanya untukmu Lihatlah Apakah ia tertawa? Tentu tidak Ia hanya boneka Dengarlah Senyumnya memang membatu Tapi percayalah Di situ aku titipkan rindu

Mengancam Tuhan

“Mengancam Tuhan” Aku sama seperti mereka Begitupun mereka... Tapi... Kenapa mereka membunuh diri sendiri? Menjalani semuanya dengan santai Di temani sepuntung rokok di sela-sela jari Dan senyum menjijikan sepanjang hari Apakah mereka tidak bersyukur untuk semua yang diberi? Pada akhirnya kita semua akan mati Prinsip yang di genggam sampai mati Merasa paling frustasi Padahal, semuanya karena mereka berdiam diri Tuhan... Apakah semua itu wajar? Pasrah di penghujung harapan? Lalu tewas terkapar Kenapa aku iri dengan mereka? Apakah aku harus menjadi seperti itu? Hidup di temani alat pembunuh harapan Kenapa tidak engkau cabut saja nafas ini? Nafas yang menemaniku mengejar impian Tapi tergampar dengan semua keterbatasan Bunuh aku tuhan... Daripada aku harus mencari pelarian

Bunga

“Bunga” Pagi ini aku membuka mata Dan mulai bertanya-tanya Semuanya selalu sama setiap harinya Kekosongan akan cinta Bunga… Sepertinya hanya fatamorgana Dalam hati nan fana Tapi, kenapa begitu nyata? Sebatang bunga yang menyesakkan hati Wajarkah aku bahagia? Padahal hanya durinya yang terasa nyata? Yang terus menusuk dinding hati berkali-kali Memeluk asa berharap semua ini nyata Sampai menyakiti jiwa Tapi hangatnya menyelimuti raga Tak apa walau hanya duri yang aku rasa Bunga akan layu tanpa air bukan? Hati berdarah, dan air mata menetes memenuhi sukma Cukup untuk menjaga Bunga, dan duri ini tetap hidup di dalam hati walau menyakiti Pagi ini aku membuka mata, sama saja seperti hari sebelumnya, dan aku mulai bertanya-tanya “kenapa semuanya selalu sama setiap harinya?” seperti hidup dalam kurungan putus asa. Ya, sama selalu kosong akan cinta, benar-benar kosong, seperti melihat langit tanpa bintang… Sangat hampa. “Bunga…” selalu terbayang di pikiranku atau sepertinya ia menghantuiku. Ah

“Hanya Cinta”

“Hanya Cinta” Takut... aku memang terlalu takut takut sayang ini semakin merasuki hati tapi aku tidak akan pergi Pecundang... diam ketika cintanya pergi, dan menjauh terbang sedangkan aku tetap disini, bersama sepi Kalah... mundur, dan menyerah karena aku tidak punya apa-apa hanya cinta

“Hina”

“Hina” Mereka bilang cinta itu indah Mereka tidak salah Tapi kenapa cinta membuatku merintih? Sungguh perih, lebih dari sedih hatiku telah kelam oleh cinta atas manusia yang membutakan mata lalu meneteskannya sampai aku tenggelam Betapa hina dan berdosanya aku Menangis.... Karena manusia yang di ciptakan penciptaku Tuhan... Apakah engkau masih mendengarku? Mendengar penyesalan dari hambamu yang lemah? Dari aku yang tidak mampu mengendalikan hati